Penggunaan AI di Peradilan, Akademisi Hukum Godok Regulasi di Tingkat Pendidikan Tinggi
- calendar_month Jum, 5 Sep 2025

Dekan FH Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum. (Dafa)
Peweimalang.com, Kota Malang- Dunia hukum internasional sempat diguncang dengan kemunculan pengacara berbasis Artificial Intelligence (AI) yang digunakan dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi Negara Bagian New York pada 26 Maret 2025. Pengacara AI tersebut dihadirkan oleh Jerome Dewald, seorang wirausahawan, dalam kasus sengketa ketenagakerjaan melawan perusahaan asuransi MassMutual Metro New York.
Fenomena ini mendorong akademisi hukum di Indonesia untuk mengantisipasi kemungkinan serupa. Melalui Badan Kerja Sama (BKS) Dekan Fakultas Hukum (FH) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia, para dekan tengah merumuskan regulasi pembatasan penggunaan AI di lingkungan pendidikan tinggi, khususnya kampus negeri.
Dekan FH Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, menilai pembatasan penggunaan AI harus dimulai dari dunia akademik. Ia menegaskan, mahasiswa hukum sudah sangat akrab dengan teknologi tersebut, sehingga perlu diarahkan agar AI hanya digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti peran manusia.
“Kalau pendidikan hukum tidak beradaptasi, hasilnya bisa melenceng dari tujuan. Mahasiswa sekarang sudah terbiasa dengan AI dan menjadikannya kebutuhan, sehingga harus ditempatkan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti peran manusia,” ujarnya.
Aan menambahkan, BKS Dekan FH PTN memiliki tanggung jawab menjaga kualitas pendidikan hukum sekaligus esensi hukum itu sendiri. Ia menekankan bahwa hukum pada dasarnya berangkat dari nilai kemanusiaan, bukan sekadar analisis mesin.
“Kalau suatu saat hakim menggunakan AI dalam membuat putusan, lalu di mana letak rasa keadilannya? Nilai itu tidak akan pernah ditemukan dalam mesin,” tegasnya.
Ia menilai, AI tidak memiliki rasa dan nilai moral karena hanya mampu melakukan analisis data. Kondisi ini berisiko menimbulkan bahaya, terutama ketika AI menghasilkan analisis yang keliru atau “berhalusinasi”, misalnya dengan mengutip pasal yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Menurut Aan, perkembangan teknologi memang tidak bisa ditolak. Namun, adaptasi di dunia pendidikan harus dilakukan agar AI benar-benar dimanfaatkan sebagai tambahan metode pembelajaran yang bermanfaat, bukan justru menimbulkan dampak negatif.
- Penulis: Dafa
- Editor: PWI Malang Raya
Saat ini belum ada komentar