Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Pendidikan » Dosen UMM Soroti Maraknya Pernikahan Anak-Anak

Dosen UMM Soroti Maraknya Pernikahan Anak-Anak

  • calendar_month Selasa, 3 Jun 2025

Peweimalang.com, Malang – Viral di media sosial maraknya anak-anak yang sudah menikah. Padahal ada penetapan batas usia minimal menikah, menjadi 19 tahun bagi calon pengantin melalui revisi Undang-Undang Perkawinan tahun 2019. Sayang realita di lapangan menunjukkan tingginya permohonan dispensasi nikah.

Idaul Hasanah, S.Ag., M.H.I., Dosen Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyoroti hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa perubahan regulasi tersebut didasari oleh pertimbangan matangnya usia individu. Kalau di Indonesia, sejak adanya perubahan peraturan perkawinan tahun 2019, usia menikah, batasan 19 tahun, baik laki-laki dan perempuan.

“Sebelumnya, pada Undang-Undang tahun 1974, batas usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun,” ungkap Ida, Selasa (03/06).

Link Banner

Perubahan ini, menurutnya, merupakan upaya untuk mencegah perceraian akibat pernikahan di usia yang belum matang. Lantaran meningkatkan batas usia pernikahan itu untuk mencegah percerian, karena banyak usia yang belum matang. Jadi usia 19 itu dianggap sudah matang.

Dari perspektif hukum Islam, Ia memaparkan bahwa kajian fikih tidak menetapkan batasan usia pernikahan secara spesifik. Kecuali pandangan Imam Abu Hanifah dari madzhab Hanafi yang memberikan batasan 15 tahun.

Umumnya, patokan dalam Islam adalah baligh (dewasa untuk ibadah) dan rusydah (kematangan untuk muamalah atau urusan sosial-ekonomi).

“Dewasa dalam baligh itu ada dua yakni baligh dan rusydah. Baligh itu dewasa untuk masalah ibadah. Sedangkan kalau masalah muamalah ukurannya adalah rusydah, kematangan,” jelas Ida.

Ia juga menggarisbawahi pergeseran standar kematangan seiring waktu. Menurutnya, semakin ke sini, kematangan itu semakin mundur. Misalnya saja Usamah bin Zaid yang berusia 15 tahun pada masa Rasulullah sudah dianggap matang dan menjadi panglima. Kondisi yang berbeda bisa dilihat pada remaja saat ini.

Ida menambahkan, meski ada batasan usia 19 tahun, pasangan di bawah umur tetap dapat menikah melalui mekanisme dispensasi nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama. Jadi pasangan yang belum mencapai usia 19 tahun, harus mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama.

“Fenomena ini nyatanya marak karena berbagai faktor dan alasan,” terangnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hakim akan meneliti kelayakan pasangan sebelum mengabulkan permohonan dispensasi. Namun, ia mengakui bahwa sebagian besar permohonan dikabulkan dengan salah-satu faktor sudah hamil duluan. Akibatnya, hakim seringkali tidak memiliki pilihan selain mengabulkan permohonan tersebut.

Solusinya, Ia menekankan peran sentral keluarga dan pendidikan. Menurutnya, anak-anak yang memiliki prinsip, visi, dan cita-cita yang ditanamkan keluarga. Diyakini tidak akan mudah terjerumus dalam pernikahan dini atau pergaulan bebas yang berujung pada married by accident.

Untuk ke depan, Ia sepakat dengan batasan usia 19 tahun namun dengan proses dispensasi kawin yang lebih diperketat. Ia kembali menegaskan pentingnya pendidikan, bukan hanya sebagai tugas pemerintah atau sekolah, tetapi juga masyarakat luas.

“Pendidikan itu penting. Pendidikan itu tidak hanya tugas pemerintah, tapi juga masyarakat,” tandasnya.

 

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less