Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Peristiwa » Prof Wahyudi Ungkap Bendera One Piece Sebagai Bukti Rakyat Cinta Indonesia

Prof Wahyudi Ungkap Bendera One Piece Sebagai Bukti Rakyat Cinta Indonesia

  • calendar_month Rab, 6 Agu 2025

Peweimalang.com, Kota Malang – Fenomena pengibaran bendera One Piece menimbulkan pro dan kontra. Menurut dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Dr. Wahyudi Winarjo, aksi tersebut merupakan ekspresi terhadap Pemerintah Indonesia.

Dosen Sosiologi UMM itu menyebut, fenomena pengibaran bendera One Piece adalah ekspresi psikososial masyarakat dan kondisi masyarakat yang ada.

“Dalam perspektif sosiologi bendera itu sebuah simbol yang harus diketahui makna subjektifnya,” ucapnya, Rabu (6/8).

Menurutnya, simbol tersebut bisa memiliki arti yang berbeda di setiap orang. Dalam perspektif mikro makna atas simbol tidak boleh dipaksa kepada orang lain untuk bertujuan memberikan makna dan simbol itu.

“Saya percaya bahwa pengibaran bendera One Piece itu memiliki rangkaian terhadap pemikiran, pandangan, respon ekspresi masyarakat atas kinerja Pemerintah Prabowo yang masih beririsan dengan Pemerintahan Jokowi,” ungkapnya.

Bentuk ekspresi pengibaran tersebut tidak sepenuhnya memiliki keinginan menggulingkan pemerintahan. Namun, Wahyudi menerangkan, ini berkaitan dengan ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Presiden Prabowo.

Ini bertentangan dengan harapan masyarakat bahwa Presiden Prabowo yang akan menjadi pemimpin yang benar-benar mandiri, pro rakyat dan berpijak pada nilai-nilai demokrasi.

“Dalam filosofi Jawa ada istilah ‘tan ono srengenge kembar’ sehingga rakyat menilai masih ada kekuasaan yang bertumpu pada dua poros,” tandasnya.

Wahyudi menerangkan, ada dua indikator yang menentukan legitimasi kekuasaan yaitu kinerja ekonomi dan politik. Saat dua hal itu tumpang tindih atau berhenti, maka kepercayaan dari masyarakat akan hilang. Sehingga timbul berbagai ekspresi dari kekecewaaan tersebut.

“Pengibaran One Piece itu berkaitan dengan dua variabel itu ada tumpang tindih yang dekat dengan persoalan penegak hukum yang tidak netral,” ucapnya.

Dasar pengibaran tersebut disebabkan karena tidak ada kanal atau ekspresi suara rakyat yang tidak didengar dan direspon.

“Rakyat hanya bisa mengibarkan bendera One Piece sebagai ranah ekspresi diri karena tidak memiliki kanal suara dari pemerintah,” tegasnya.

Wahyudi menambahkan, pengibaran bendera One Piece ada kaitannya dengan rangkaian “Indonesia Gelap”. Wahyudi mengungkapkan pada sebuah teori bahwasanya gerakan yang dilakukan oleh masyarakat pasti memiliki sumber dan aktor intelektual.

“Rakyat sebetulnya memang merasakan sesuatu hal yang bermasalah ada problem namun tidak mengetahui cara ekspresi. Sehingga ada aktor intelektualnya yang menjadikan sebuah gerakan,” tambah Presidium Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) Malang Raya itu.

Dalam kacamata sosiologi, ekspresi pengibaran bendera bukanlah tindakan subversif. Wahyudi menyebut bahwa ini bentuk keselamatan pribadi dalam berekspresi. Dimana rakyat tetap menyampaikan politik, namun dalam bentuk tidak langsung dan aman secara hukum.

“Ini membuktikan bahwa masyarakat masih cinta negeri ini. Tapi ketika DPR dan saluran formal lainnya gagal menjadi kanal aspirasi, maka masyarakat mencari ruang alternatif yang lain,” kata Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Kota Malang itu.

Wahyudi beranggapan bahwa aksi tersebut boleh dilakukan secara individu. Menurutnya, UUD 1945 sudah cukup menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat secara individu.

“Pemerintah seharusnya saat ini melakukan evaluasi dan intropeksi. Bukan membesar-besarkan permasalahan, rakyat juga tidak ingin merdeka dari merdeka tetapi ingin merdeka dalam menyampaikan ide atau aspirasi,” tegasnya.

Menurutnya, pengibaran bendera ini merupakan implementasi kekuasaan negara Indonesia. Ia menjelaskan bahwa kekuasaan tersebut masih dikendalikan oleh dua matahari itu (Presiden Prabowo dan Presiden Jokowi), yang seharusnya pemerintah bergembira, senang menyambut hal tersebut.

Wahyudi menyebut bahwa rakyat masih menaruh harapan besar pada Presiden Prabowo, terutama pada janji-janji kampanyenya yang mengusung nilai-nilai kerakyatan, anti oligarki, dan demokratis. Namun, jika tetap mengusung pola kekuasaan sebelumnya, maka ekspresi kritik dan protes semakin banyak.

“Kalau Presiden Prabowo pro rakyat, maka seharusnya membuka ruang komunikasi nyata dengan rakyat,” tutup Wahyudi yang juga Asesor LAMSPAK.

  • Penulis: Agung Budi Prasetyo
  • Editor: PWI Malang Raya

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less