Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Peristiwa » Polemik Tayangan Trans7: Pakar Komunikasi UMM Soroti Minimnya Sensitivitas Media dan Reaksi Publik

Polemik Tayangan Trans7: Pakar Komunikasi UMM Soroti Minimnya Sensitivitas Media dan Reaksi Publik

  • calendar_month Sen, 20 Okt 2025

Peweimalang.com, Kota Malang – Tayangan Xpose Uncensored Trans7 menuai polemik setelah dinilai menyinggung salah satu pondok pesantren. Menanggapi hal tersebut, Nasrullah, pakar media dari Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menilai persoalan ini muncul karena kurangnya kepekaan media terhadap konteks sosial dan dampak dari pesan yang disampaikan.

Menurut Nasrullah, dunia jurnalistik tidak hanya menuntut penyajian fakta yang benar, tetapi juga harus mampu mengukur dampak dari fakta yang diungkapkan.

“Seorang jurnalis atau kreator konten harus memikirkan ke mana arah efek dari informasi yang disampaikan. Apakah justru membawa manfaat, atau malah menimbulkan gejolak?” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam ilmu komunikasi, pesan tidak hanya dilihat dari isi konten, tetapi juga dari konteks dan relasi antara komunikator dan komunikan. Meskipun tayangan tersebut menampilkan fakta yang didukung gambar dan video. Namun sayang framing dan sudut pandangnya dinilai tidak mempertimbangkan sensitivitas terhadap budaya dan relasi sosial masyarakat pesantren.

“Komunikasi itu tidak hanya soal pesan, tapi juga konteks dan hubungan. Sesuatu yang diucapkan dengan orang atau dalam situasi berbeda bisa menghasilkan makna yang berbeda pula,” jelasnya.

Kepala Prodi Komunikasi UMM ini menilai, Trans7 mungkin bermaksud menyampaikan kebenaran, namun gagal membaca konteks sosial serta kompleksitas budaya pesantren. Ia menambahkan, relasi antara jurnalis dengan tokoh agama, antara kiai dan santri, adalah hal yang sensitif dan perlu dipahami dengan baik.

“Saya yakin mereka tidak bermaksud menghina, hanya mengungkap fakta. Tapi sensitivitas terhadap dampak sosial itu yang tidak muncul,” katanya.

Menurut Nasrullah, hal ini tidak berarti membatasi kebebasan pers, tetapi mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap dampak publik dari setiap tayangan.

“Tujuan kritik seharusnya untuk memperbaiki, bukan memperburuk keadaan. Kalau kritiknya malah menimbulkan kerusakan, berarti ada yang salah dalam cara penyampaiannya,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti aspek paralinguistik dalam penyampaian pesan. Nada suara yang keras dan gaya tutur yang terkesan sengak dalam tayangan tersebut dapat memperkuat kesan seolah-olah ada niat mendiskreditkan kalangan pesantren.

“Walaupun gaya VO (voice over) Xpose Uncensored memang khas seperti itu, masyarakat bisa menafsirkannya sebagai bentuk penghinaan terhadap kiai dan santri,” tuturnya.

Di sisi lain, Ia juga menilai bahwa reaksi publik terhadap tayangan tersebut terlalu berlebihan. Ia melihat munculnya buzzer dan influencer yang menyerang balik pihak-pihak tertentu justru memperkeruh suasana.

“Sekarang banyak akun yang mulai saling serang, bahkan sampai mengaitkan dengan kelompok keagamaan lain. Ini berbahaya karena bisa memicu perpecahan antarumat,” ungkapnya.

Nasrullah berharap semua pihak dapat menahan diri dan memilih cara penyelesaian yang lebih elegan. Ia menilai, jika sejak awal persoalan ini diselesaikan melalui jalur hukum tanpa adanya provokasi di ruang publik, situasi kemungkinan tidak akan berkembang sebesar sekarang.

Menurutnya, ketidakmampuan mengendalikan emosi justru membuat pesan yang seharusnya menjadi solusi malah berubah menjadi pemicu provokasi dan memperkeruh keadaan.

 

 

  • Penulis: Dafa Pratama
  • Editor: PWI Malang Raya

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less