Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Pendidikan » Budaya » Blood Moon Bukan Musibah, Ingatkan Manusia Pada Penguasa Jagat Raya

Blood Moon Bukan Musibah, Ingatkan Manusia Pada Penguasa Jagat Raya

  • calendar_month Sen, 8 Sep 2025

Peweimalang.com, Kabupaten Malang – Blood moon atau bulan merah darah, yang biasa disebut masyarakat Indonesia gerhana bulan total, yang selalu muncul tiga tahun sekali di Indonesia, kembali muncul di Indonesia, pada Minggu (7/9) tengah malam hingga Senin (8/9) subuh. Sedangkan bolood moon tiga tahun absen atau tidak muncul, akhirnya bisa kembali terlihat. Namun, bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di timur Papua bagian tidak akan bisa mengamati akhir gerhana bulan, karena matahari sudah keburu terbit.

Sehingga dengan munculnya blood moon di tanah air ini, hal itu telah memiliki makna terkait gerhana bulan. Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Sedangkan gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang.. “Jika melihat hal tersebut maka berdoalah kepada Gusti Allah,” papar Tokoh Budaya Malang Sentot, yang biasa di panggil Ki Suryo, Senin (8/9), kepada Peweimalang.com.

Dia menegaskan, gerhana bulan bukanlah musibah, melainkan pangeling atau pengingat dari Bopo Angkoso, atau Sang Penguasa Jagat Raya. Dan fenomena ini dianggap sebagai pitutur agar manusia senantiasa eling lan waspada dalam perjalanan dan persoalan hidup. Gerhana bulan total sendiri dimaknai sebagai pertanda kegelapan zaman, saat manusia alpa pada asal-usul hidupnya. Sebagaimana, gerhana bulan sebagian melambangkan ketidakeseimbangan antara lahir dan batin. Sementara gerhana bulan menjadi isyarat halus agar manusia waspada terhadap persoalan hidup yang mungkin datang.

“Dalam laku budaya, masyarakat Jawa kerap menyambut gerhana dengan doa, tapa brata, maupun tirakat. Sesaji yang digelar bukan semata berupa hidangan, melainkan simbol doa keselamatan bagi seluruh alam semesta,” ujar Ki Suryo.

Dia melanjutkan, gerhana bagi orang Jawa bukanlah pertanda buruk, melainkan pangeling atau pengingat. Karena leluhur kita selalu mengajarkan, saat rembulan tertutup, manusia sebaiknya mendekatkan diri pada Gusti Allah, karena kegelapan itu hanya bersifat sementara, cahaya pasti akan kembali. Sehingga dari nasehat inilah lahir keyakinan bahwa setiap kegelapan akan berakhir dengan cahaya. Dan pesannya terang, bahwa gerhana adalah momentum untuk memperdalam kesadaran spiritual, menjaga keseimbangan hidup, dan senantiasa kembali kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi, yang berarti Tuhan yang mengatur segala kejadian atau Penentu nasib semua makhluk.

Sebutan itu, kata Ki Suryo, digunakan untuk merujuk kepada Tuhan atau Yang Maha Kuasa atas seluruh ciptaan dan kejadian di alam. Dan egala puji bagi Allah, pujian murni, baik dan diberkatinya. “Yang memenuhi langit dan memenuhi bumi dan memenuhi apa yang ada di antara mereka dan mengisi apa pun yang anda inginkan. Sehingga yang Yang Maha Kuasa paling berhak memanggil hamba dan kami semua adalah hamba,” tandasnya.

  • Penulis: Redaksi
  • Editor: PWI Malang Raya

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less