Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Politik-Pemerintahan » Perda Pajak Kota Malang Tidak Berlaku untuk UMKM dan PKL  

Perda Pajak Kota Malang Tidak Berlaku untuk UMKM dan PKL  

  • calendar_month Selasa, 24 Jun 2025

Peweimalang.com, Kota Malang – Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Malang, terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Indra Permana, menegaskan, Perda tersebut tidak membebankan pajak kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL).

Penegasan ini disampaikan, menyusul munculnya kesalahpahaman di masyarakat yang menyebut, Perda PDRD bakal memberatkan UMKM dengan pungutan pajak baru. Indra menyatakan, anggapan tersebut tidak berdasar dan menyesatkan.

“Ada banyak kesalahan dalam memahami substansi perda ini. Munculnya berbagai komentar di media sosial yang menyebut dewan akan memajaki UMKM adalah keliru dan tidak sesuai fakta,” ujar Indra, Sabtu (21/6/2025).

Link Banner

Dijelaskan, aturan dalam Perda PDRD hanya mencakup Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Khususnya yang menyasar pada subsektor makanan dan minuman (mamin).
Hal ini lebih tepat disebut sebagai pajak restoran atau kafe yang telah berkembang besar. Bbukan warung kecil atau pelaku usaha rumahan.

“Kami tidak pernah membahas ataupun mengesahkan perda tentang pemajakan UMKM. Fokus utama perda ini adalah PBJT makanan dan minuman, bukan sektor UMKM secara umum,” tegasnya.

Bahkan, lanjutnya, Perda ini justru memberikan ruang lebih luas bagi pelaku usaha kecil.
Salah satu perubahan penting yang diatur dalam Perda PDRD Kota Malang adalah kenaikan batas minimal omzet yang dikenai pajak. Jika sebelumnya batas omzet usaha yang terkena PBJT mamin adalah Rp5 juta per bulan, kini dinaikkan menjadi Rp15 juta per bulan.

“Toko kelontong, penjual nasi goreng, penjual baju, hingga bengkel motor tidak masuk kategori objek pajak dalam Perda ini. Meskipun omzet mereka di atas Rp15 juta, jika tidak termasuk sektor mamin, maka tidak dikenai pajak,” tambahnya.

Terkait pajak 10 persen pada sektor makanan dan minuman, Indra meluruskan, pajak tersebut bukan ditanggung pelaku usaha, melainkan dibebankan kepada konsumen. Pajak itu merupakan bagian dari regulasi perpajakan nasional yang berlaku di seluruh daerah di Indonesia.

“Jika kita makan di tempat seperti KFC, Solaria, atau ngopi di kafe dan melihat tambahan biaya 10 persen, itu adalah pajak PBJT atau yang dulu dikenal sebagai pajak restoran. Itu bukan beban usaha, tapi titipan dari konsumen kepada negara,” jelasnya.

Indra berharap agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak akurat di media sosial. Ia juga mendorong adanya edukasi dan sosialisasi yang lebih intens agar publik memahami kebijakan pajak secara utuh dan tidak menimbulkan polemik yang tidak perlu. (*)

 

  • Penulis: Agung Budi
  • Editor: PWI Malang Raya
  • Sumber: Wawancara

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less