Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Hukum-Kriminal » Kasus Yai Mim vs Sahara, AWAS Dorong Restorative Justice

Kasus Yai Mim vs Sahara, AWAS Dorong Restorative Justice

  • calendar_month Sel, 14 Okt 2025

Peweimalang.com, Kota Malang – Organisasi masyarakat (ormas) Aliansi Warga Anti Salahguna Anggaran (AWAS) Malang dikenal garis keras pada isu publik, seperti soal Peraturan Wali Kota (Perwali), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), retribusi, serta korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan lembaga tersebut mengawasi secara independent yang menyangkut keuangan negara dan kepentingan publik. Serta mengawasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang kini menuai masalah karena ada sebagian siswa sekolah keracunan makanan.

Dan wajar jika senjata AWAS adalah somasi, Judicial Review (JR), laporan resmi, dan gugatan hukum. Sehingga lembaga ini sebagai fungsi menjaga atau sebagai pengawas program dan kebijakan Pemerintah Daerah. Tapi, kata Founder AWAS Ali Wahyudin As’ad, Selasa (14/10), kepada Peweimalang.com, bahwa dalam kasus Muhammad Imam Muslimin Mardi, lebih dikenal dengan nama Yai Mim, yang memiliki masalah dengan tetangganya sendiri Sahara viral di media sosial (medsos), yang berbeda dengan kasus keracunan MBG. Sehingga itu bukan public fund issue atau masalah yang telah terjadi dan menimbulkan pengaruh pada publik, yang mana bukan kebijakan publik, melainkan sengketa privat yang berimplikasi sosial.

“Nah, inilah celah moral dan kemanusiaan yang jadi wilayah Restorative Justice (RJ) atau penyelesaian perkara pidana, dan RJ di sini bukan tanda lemah, tapi justru tanda kedewasaan hukum. Ketika hukum sudah berjalan, maka kemanusiaan harus bekerja Dan inilah prinsip utama AWAS Solidarity kali ini,” tegasnya.

Dasar berpikir AWAS, lanjut dia, RJ sebagai jembatan, bukan pengganti. Sehingga RJ dalam konteks ini bisa dikategorikan sebagai RJ pasca pelaporan ganda yaitu ketika kedua pihak sudah melapor dan diperiksa sama-sama sebagai pelapor. Sehingga dalam pelaporan kedua pihak tersebut ke Polisi, penyidikan tetap jalan dan harus ada kepastian hukum yang bisa terjaga. Sehingga AWAS mengingatkan agar arah penyelesaian tidak berubah jadi adu gengsi publik. Tujuannya jelas, mengembalikan fokus dari siapa yang salah, agar masyarakat tidak ambigu dalam kasus Yai Mim vs Sahara.

“Jika dibiarkan liar, kasus ini bisa menjalar ke polarisasi antar kelompok umat, adu narasi di medsos, dan menurunkan wibawa lembaga agama dan hukum di Malang Raya.

Maka AWAS hadir bukan membela siapa pun, tapi jadi penengah yang rasional, bukan emosional,” tutur Ali.

Dalam kesempatan itu, dia juga menegaskan, bahwa AWAS sangat menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Polresta Malang Kota. Namun dirinya juga melihat ruang kemanusiaan yang bisa ditempuh melalui mekanisme RJ, demi mencegah luka sosial yang lebih luas di tengah masyarakat. Sedangkan dalam kasus Yai Mim vs Sahara adalah kasus privat, tapi dampaknya sosial, maka penyelesaian terbaik yakni kombinasi hukum dan kemanusiaan. Oleh karena itu, AWAS tetap pro proses hukum untuk menjaga marwah penegakan hukum, tapi juga pro restorasi sosial, agar hukum tidak berubah jadi panggung konflik.

“AWAS tidak pernah melemah terhadap ketidakadilan, namun kami juga tidak akan membiarkan luka sosial terus berdarah. Sehingga hukum tetap ditegakkan dengan hati yang memanusiakan manusia,” pungkas Ali, yang juga pernah sebagai Ketua Bawaslu Kabupaten Malang.(*).

  • Penulis: Redaksi
  • Editor: PWI Malang Raya

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less